Kamis, 30 April 2015

Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Undang-undang tentang telekomunikasi ini disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999 oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, yaitu Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie. Undang-undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI.
Dengan dibuatnya UU no.36 yang mengatur tentang penggunaan telekomunikasi maka dapat membuat seluruh masyarakat mengerti tentang bagaimana cara penggunaan media telekomunikasi teknologi informasi dan agar tidak disalahgunakan kegunaannya oleh pihak-pihak tertentu.

Undang-undang ini terdiri dari sembilan BAB, yaitu :

BAB I : KETENTUAN UMUM
BAB II : ASAS DAN TUJUAN
BAB III : PEMBINAAN
BAB IV : PENYELENGGARAAN
BAB V : PENYIDIKAN
BAB VI : SANKSI ADMINISTRASI
BAB VII : KETENTUAN PIDANA
BAB VIII : KETENTUAN PERALIHAN
BAB IX : KETENTUAN PENUTUP

Secara umum, UU No.36 tahun 1999 Bab 4 berisi tentang penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional adalah suatu kebutuhan, karena meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Maka dari itu, pada Undang-undang tentang telekomunikasi khususnya BAB 4 ini akan menjelaskan tentang penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang terbagi menjadi sebelas bagian, yaitu bagian umum, bagian penyelenggara, bagian larangan praktik monopoli, bagian perizinan, bagian hak dan kewajiban penyelenggara dan mastarakat, bagian penomoran, bagian interkoneksi dan biaya hak penyelenggaraan, bagian tarif, bagian telekomunikasi khusus, bagian perangkat telekomunikasi spektrum, frekuensi radio, dan orbit satelit, serta bagian pengamanan telekomunikasi.

Berikut adalah isi dari Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Pasal 24 – Pasal 28 :

Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan penomoran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) 
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) 
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) 
Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)di lakukan berdasarkan prinsip :
a. 
pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. 
keserasian sistem dan perngkat telekomunkasi;
c. 
peningkatan mutu pelayanan; dan
d. 
persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) 
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi,hakdan kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah 
Pasal 26
(1) 
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggara telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan.
(2) 
Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan tarif penyelenggara jasa telekomunikasi di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besarnya tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Penjelasan :

Pasal 25 berisi tentang interkoneksi dan biaya hak penyelenggara. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapat interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. Pelaksanaan hak dan kewajiban penyelenggata jaringan telekomunikasi juga sudah dinyatakan dengan jelas dalam pasal 25 ayat (3). Kemudian, mengenai ketentuan interkoneksi jaringan telekomunikasi, kewajiban, serta haknya diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Pasal 26 ayat (1) dan (2) menjelaskan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang merupakan kewajiban penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi sebagai kempensasi perizinan untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi. Besarnya biaya penyelenggaraan ditentukan berdasarkan persentase dan pendapatan, dan akan disetor kedalam Kas Negara.

Sedangkan Pasal 27 dan 28 berisi tentang susunan tarif dari penggunaan jaringan  dan jasa telekomunikasi. Dimana susunan tarif penyelenggaraan yang meliputi struktur dan jenis tarif ditentukan oleh pemerintah. Pihak penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dapat menentukan besaran tarif berdasarkan struktur dan jenisnya.

Struktuf tarif terdiri dari biaya aktivasi saat pertama kali melakukan pemasangan, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, serta biaya jasa tambahan. Sedangkan jenis tarif dapat terdiri dari tarif pulsa lokal, tarif pulsa SLJJ, tarif SLI, dan air time untuk jasa telepon genggam.

Sedangkan formula yang dimaksudkan pada pasal 28 merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif perubahan. Dalam penerapan formula tarif awal, komponen biaya merupakan hal yang harus diperhatikan, sedangkan untuk formula besaran tarif perubahan harus memperhatikan faktor inflansi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.


Sumber :

http://www.mastel.or.id

Minggu, 26 April 2015

Kode Etik Guru Di Indonesia

KODE ETIK PROFESI GURU

Kode etik, seperti yang telah dibahas pada postingan sebelumnya meruooakan kumpulan peraturan yang dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kode etik umumnyan termasuk norma sosial, tetapi ada juga kode etik yang masuk kedalam norma hukum dan memiliki sanksi atas pelanggarannya, salah satunya adalah kode etik profesi. Kode etik profesi adalah peraturan yang telah disepakati dan harus ditaati oleh semua orang yang  menyandang profesi tersebut. Dalam tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang kode etik dalam dunia pendidikan, yaitu kode etik guru.
Kode etik profesi ini diberikan agar setiap profesional pada bidangnya dapat memberikan jasa sebaik-baiknya dan melindungi dari perbuatan yang tidak profesional.


Pengertian Guru 
Dibawah ini akan dijelaskan beberaoa pengertian guru berdasarkan :
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), guru adalah orang yang pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar.
  • UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
  • Falsafah Jawa, guru diartikan sebagai sosok tauladan yang harus di”gugu lan ditiru.” Dalam konteks falsafah jawa ini guru dianggap sebagai pribadi yang tidak hanya bertugas mendidik dan mentransformasi pengetahuan di dalam kelas saja, melainkan lebih dari itu guru dianggap sebagai sumber informasi bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik.
  • Drs. Moh. Uzer Usman (1996: 15), guru adalah setiap orang yang bertugas dan berwenang dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan formal.



Kode Etik Guru di Indonesia
 a) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
b) Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
c) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan  bimbingan dan pembinaan
d) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya  proses belajar mengajar
e) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
 f) Guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
g) Guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
 h) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
i) Guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan

Sanksi Pelanggaran Kode Etik
Dalam setiap penetapan aturan atau tata tertib, tidak lepas dengan yang namanya sanksi bagi para pelanggar peraturan atau tata tertib tersebut. Termasuk bagi pelanggar kode etik.

Menurut Mulyasa (2007:46) menjelaskan, bahwa sanksi  pelanggaran kode etik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sanksi moral, berupa celaan dari rekan-rekannya. Karena pada umumnya kode etik merupakan landasan moral, pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan.

2. Sanksi dikeluarkan dari organisasi, merupakan sangsi yang dianggap terberat.

Sumber ::
http://www.academia.edu/9062309/kode_etik_guru_indonesia

Thanks For Reading