Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang berbeda disetiap daerah. Selain tari-tarian, lagu, dan kerajinan tangan, ada juga upacara adat seperti :
- Ngaben (upacara pembakaran mayat di Bali),
- Tabuik (upacara peringatan kematian Hassan dan Husein di Pariaman),
- Rambu Solo (upacara kedukaan dari Toraja, Sulawesi),
- Kebo-keboan (upacara meminta hujan di Banyuwangi),
- Dugderan (upacara tanda tibanya bulan Ramadhan di Semarang),
- Pasola dari Sumba, dan banyak lagi.
A. Sejarah Upacara Tabuik
Kata tabuik berasal dar kata tabut yang berarti mengarak. Upacara tabuik atau yang juga dikenal sebagai pesta atau festival tabuik sudah dilangsungkan oleh masyarakat pantai barat, Sumatra Barat (Pariaman) secara turun temurun sebuah untuk memperingati hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharam. Hari Asyura itu sendiri adalah hari peringatan kepahlawanan cucu-cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hassan dan Husein yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan Ubaidillah bin Zaid di Iraq. Pertempuran itu pun dinamai Perang Karbala. Kematian para cucu Rasul tersebut sangat mengenaskan. Tentara Muawiyah merusak jenazah Husain dan memenggal kepalanya. Mendengar berita kematian Imamnya, para umat muslim di Syiah sangat terpukul sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa diri mereka sendiri. Namun mereka yakin bahwa jenazah Husein sudah dibawa ke surga dengan menggunakan Buroq. Buroq tersebut disimbolkan sebagai kuda gemuk berwajah wanita dan akhirnya dijadikan sebagai bangunan utama tabuik. Setelah itu, tradisi mengenang cucu Rasulullah menyebar ke berbagai daerah dan negara dengan cara berbeda-beda.
Di Pariaman sendiri, tabuik diperkenalkan oleh anggota pasukan Thamil (bagian dari pasukan Inggris), yang rata-rata adalah penganut agama Islam. Setiap tahun, pasukan Thamil yang sedang menjajah Bengkulu (1826) selalu melangsungkan pesta Tabuik yang bernama Tabot. Ketika pasukan Inggris meninggalkan Bengkulu pada tahun 1829, pasukan Thamil melarikan diri ke Pariaman, yang saat itu terkenal dengan daerah pelabuhan yang ramai. Karena saat itu Islam sedang masuk ke Pariaman, maka masyarakat setempat menerima masyarakat Thamil (yang mayoritas beragama Islam) dengan hangat. Saat itulah terjadi pembauran budaya yang salah satunya adalah budaya pelaksanaan upacara Tabuik, demi memperingati kematian cucu Rasul, Hassan, dan Husein.
B. Perayaan Upacara Tabuik di Pariaman
Di Pariaman, upacara Tabuik dilangsungkan setiap tanggal 10 Muharram selama 14 hari. Pembukaan festival atau upacara Tabuik ditandai dengan adanya pawai keliling kota, yang dikenal dengan Pawai Taaruf. Setelah pawai usai, semua orang mulai berpesta, disertai dengan pertunjukan Festival Anak Nagari, khas masyarakat Pariaman. Malam harinya, pesta kembali dimeriahkan dengan digelarnya musik gabus. Selain itu, ada juga kegiatan-kegiatan lain seperti pengajian ibu-ibu, dan anak, penapilan drum band, hingga atraksi debus khas Pariaman.
Hari berikutnya, masyarakat mulai membuat kerangka dasar tabuik dari bambu, kayu, dan rotan. Tabuik dibuat sebanyak 2 buah oleh 2 kelompok masyarakat Pariaman. Kelompok-kelompok tersebut dipisahkan oleh aliran sungai. Kedia tabuik tersebut adalah Tabuik Pasa (tabuik pasar), dan Tabuik Subarang (tabuik seberang). Setiap malam, selama pembuatan tabuik dilakukan, diselenggarakan kesenian tradisional seperti tari-tarian Minang, organ tunggal, serta permainan khas Minangkabau yang dimankan secara berkelompok yang menyampaikan cerita dengan tari-tarian dan lagu dalam bahasa daerah, yaitu Randai.
Setelah membuat tabuik, masyarakat membuat kerangka buraq, dan kembali masyarakat dihibur dengan layar tancap pada malam harinya. Kemudian, menjelang sore hari bagian-bagian tabuik tersebut disatukan dan disaksikan oleh sekitar ratusan ribu orang. Pemasangan tabuik tersebuk dinamai tabuik naik pangkat. Badan tabuik dibuat menyerupai kuda besar bersayap, berkepala wanita cantik dan berambut panjang. Dipunggung tabuik yang menyerupai kuda tersebut ditancapkan tombak berbentuk gapura petak yang dibalut motif ukiran khas Minangkabau. Bentuk gapura tersebut semakin kecil dari atas kebawah. Diujung-ujung gapura tersebut dihias dengan bungo salapan yang artinya delapan bunga yang dibentuk seperti payung dan beralaskan kain motif atau batik. Diatas gapura (tingkat ketiga dari tabuik) diberi keranda berbentuk menara yang dihiasi bunga-bunga serta kain beludru yang berwarna-warni. Tinggi ketiga tingkat tabuik tersebut mencapai 15 meter dengan berat kurang lebih 500 kilogram. Pembuatan tabuik tersebut menghabiskan biaya sekitar puluhan juta rupiah.
Pada hari puncaknya, Tabuk Pasa dan Tabuik Subarang (masing-masing tabuik diangkat oleh sekitar 40 orang) dipertemukan, diadu, serta diarak sementara orang-orang berteriak "hoyak Husein, hoyak Husein" yang artinya "hidup husein, hidup husein". Pada sore hari, kedua tabuik tersebut dibawa ke pantai, kemudian dilempar ke laut menjelang matahari terbenam. Tahap melempar tabuik ini disebut dengan 'mambuang tabuik' dalam bahasa Minangkabau yang artinya membuang tabuik. Masyarakat setempat yakin, bahwa tabuik yang dilempar ke laut tersebut akan dibawa buroq ke surga beserta arak-arakannya.
Gambar Tabuik |
Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang diadu dan dibawa ke pantai |
Kedua Tabuik dibuang ke laut. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar