Jumat, 02 Desember 2011

Diskriminasi dalam Pendidikan

Tema : Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat.
            Prasangka, Diskriminasi, dan Etnosentrisme

Seperti yang kita tahu, dewasa ini, pendidikan sangat penting bagi masyarakat agar dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan dikemudian hari. Maka dari itu pemerintah menjalankan program wajib sekolah 9 tahun. Bahkan undang-undang pun mengatur dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan.

Tapi tetap saja, banyak diskriminasi yang terjadi dalam masalah pendidikan. Walau pemenrintah berupaya agar rakyat menengah kebawah bisa mendapat pendidikan secara gratis, namun sepertinya program tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Karena dapat kita lihat, masih banyak anak-anak berkeliaran dijalan karena tidak bisa bersekolah. Banyak sekali halangan-halangan untuk mendapatkan pendidikan gratis itu. Bahkan sebagian besar sekolah gratis itu dimanfaatkan oleh anak para pejabat, dan masyarakat menengah keatas lainnya. Seolah pendidikan yang bermutu itu hanya diperuntukan bagi anak-anak orang kaya saja.


Salah satu bentuk diskriminasi dalam pendidikan saya lihat dengan jelas ditempat adik saya menuntut ilmu. Yaitu sebuah SMA Negri di daerah Tambun Selatan. Di SMA Negri tersebut, para siswa dibedakan mennjadi tiga kelas atau kelompok, yaitu kelas WI (Wawasan Internasional), Bilingual, dan kelas Reguler. Kelas-kelas tersebut dibagi berdasarkan nilai dan iuran bulanan serta biaya lainnya. Kelas WI harus membayar iuran bulanan, maupun uang gedung jauh lebih mahal dari kelas Bilingual dan Regular. Dibawahnya, yaitu kelas Bilingual juga harus membayar sedikit lebih mahal dibanding kelas Regular.
Siswa dari kelas WI dan Bilingual, sering kali diundang untuk menghadiri beberapa acara sekolah, seperti wawancara TV, darmawisata, study tour keluar kota, dan banyak lagi. Sementara siswa kelas Reguler hampir tidak memiliki acara kecuali belajar seperti biasa. Bahkan ironisnya, seragam siswa WI, Bilingual dengan Reguler pun ikut dibedakan. Bukankah ini tidak adil bagi siswa kelas Reguler?
Memang WI dan Bilingual membayar iuran lebih mahal, dan berhak mendapat fasilitas lebih. Tetapi hal seperti itu dapat menyebabkan kecemburuan pada siswa kelas Reguler. Selain itu, hal semacam ini juga bisa menaikan ego siswa kelas WI maupun Bilingual. Bisa saja mereka merasa tinggi hati dan merendahkan siswa Reguler.
Seharusnya, tidak ada perbedaan kelas seperti itu, karena sekolah seharusnya mengajarkan keadilan, dan tenggang rasa yang tinggi seperti pepatah "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah". Bukankah pendidikan dasar sampai sekolah menengah diwajibkan menggunakan seragam agar tidak terjadi kecemburuan sosial? Hal yang dilakukan SMA tersebut justru mengajarkan sikap diskriminasi pada siswanya.

Saya sendiri juga pernah mengalami diskriminasi yang dilakukan disebuah pesantren tempat saya dulu menuntut ilmu. Disana, anak-anak yang berlatar belakang bagus, seperti anak pejabat, atau anak orang kaya, atau terkenal akan menjadi anak emas dan disayang semua pendidik. Sementara anak yang biasa saja, apa lagi yang memiliki perekonomian yang tidak begitu bagus, sangat jarang dilirik. Bahkan tak jarang menjadi bulan-bulanan anak lainnya. Saya sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Karena pesantren adalah sekolah yang mendalami ilmu agama, dan jelas agama sangat melarang tindakan diskriminatif. Tetapi para pendidik malah menerapkan sikap tersebut. Itulah, alasan terbesar kenapa saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari pesantren tersebut.

Di lain kasus, ada seorang anak yang ditolak masuk sebuah sekolah swasta karena ayahnya yang mengidap penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus). Berita ini sudah tersebar dimana-mana. Ironisnya, penolakan tersebut disampaikan pihak sekolah melalui pesan singkat dari telepon genggam. Padahal, menurut Komnas Ham, sekolah itu tidak seharusnya mengeluarkan atau menolak siswa yang berlatar belakang seperti itu. Karena pada dasarnya, bukan mereka yang mengidap penyakit HIV. Hal ini juga merupakan contoh diskriminasi, karena anak seorang penderita HIV sekalipun seharusnya memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan.

Selain itu, diskriminasi juga terjadi pada para siswa yang lulus melalui ujian paket B, di kota Batam. Pasalnya, Kepala Dinas Pendidikan setempat melarang Sekolah Negeri untuk menerima siswa yang tidak lulus UAN dan mengikuti ujian paket B. Alasannya adalah, karena takut siswa paket B tersebut kembali gagal dalan ujian nasional, dan mengotori buku induk sekolah. Padahal, banyak fasilitas-faslitas yang memudahkan seperti keringanan biaya pada sekolah negri. Dan hal seperti ini jelas telah bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1 yang berbunyi "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meingkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia."

Selain contoh-contoh diatas, mungkin masih banyak lagi diskriminasi ang terjadi dalam pendidikan. Tapi, semoga saja dikemudian hari, diskriminasi-diskriminasi seperti itu sudah tidak diterapkan lagi oleh pemerintah, maupun para pendidik. Semoga, dikemudian hari pendidikan benar-benar akan menjadi hak semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks For Reading